WARTA MERDEKA

Asal Usul Orang Betawi

Betawi : Pedagang Kerak Telor
Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa Indonesia, penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.

Sejarawan Sagiman MD, menyatakatan bahwa eksistensi suku Betawi telah ada, sejak Zaman Batu Baru (Neoliticum), dimana penduduk asli Betawi berasal dari Nusa Jawa; orang Jawa, Sunda, dan Madura.

Pendapat senada datang dari Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977),” mengungkapkan bahwa, Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3.500 – 3.000 SM (Sebelum Masehi).

Selain penelitian di atas, ada pula penelitian yang dilakukan Lance Castles, yang  menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yakni:

  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus Penduduk yang dibuat penjajah Hindia Belanda pada tahun 1930

Dalam semua sketsa sejarah Lance Castles, yang dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh banyak ahli sejarah lainnya dirasakan kurang lengkap, untuk sebuah penjelasan asal mula Suku Betawi. Hal ini dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi), sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"

Etimologi Betawi
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut ahli sejarah ada beberapa acuan:

  • Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya “Larangan.” Kosa kata ini mengacu pada komplek situs di daerah “Batu Jaya,” Karawang.  Hal ini diperkuat oleh sejarahwan Ridwan Saidi, dengan mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan tersebut merupakan sebuah Kota Suci yang dahulunya tertutup.
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) mempunyai makna giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi. Dimana di wilayah ini hingga tahun 1990-an masih sempat ditemukan banyak giwang emas dari abad ke-11 M.
  • Flora Guling Betawi (Cassia Glauca), Famili Papilionaceae adalah sejenis tanaman Perdu, yang kayunya bulat kokoh seperti guling, tetapi mudah diraut. Zaman dulu jenis kayu ini banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata; keris atau gagang pisau. Tanaman ini banyak tumbuh di Nusa Kelapa, beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sedangkan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Perbedaan pengucapan pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, ini biasa terjadi, seperti kata tanya “apakah” atau “apatah” yang memiliki makna yang sama. Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman bisa jadi benar. Sejarahwan Ridwan Saidi; beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat, atau daerah yang ada di Jakarta. Sebagai contoh; Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dlsb. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis Rerumputan." Dengan demikian kosa kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia".

Sedangkan Batavia merupakan nama Latin untuk Tanah Batavia, yang  pada zaman Romawi, diperkirakan terletak di sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini sisa-sisa lokasi tersebut dikenal sebagai “Betuwe”.

Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah status "Nenek Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang Batavia.
Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk nama koloni mereka.

Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi Batavia dari tahun 1619-1942.

Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi Djakarta.
Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.

Sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.

Sejarah
3500 – 3000 SM (Sebelum Masehi)

  • Menurut Sejarawan Sagiman MD, sejarah Betawi sudah ada sejak Zaman Batu (Neolitikum).
  • Menurut Yahya Andi Saputra, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, yang merupakan Satu Kesatuan Budaya. Bahasa, Kesenian, dan Adat Kepercayaan, tetapi kemudian menjadikan mereka sebagai suku sendiri. Yang kemungkinan disebabkan oleh, antara lain:
  1. Pertama, munculnya Kerajaan-kerajaan.
  2. Kedua, Kedatangan bangsa dan Pengaruh bangsa dari luar Nusa Jawa.
  3. Ketiga, adanya Perkembangan Kemajuan Ekonomi dari masing-masing daerah.

Abad ke-2
Menurtut Yahya Andi Saputra,  Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.

Abad ke 5

Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.

Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara (Hindu).

Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.

Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.

Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.

Abad ke-10
Sekitar abad ke-10, terjadi persaingan antara orang Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.

Persaingan yang berujung dengan peperang, dimana orang-orang Cina demi kelangsungan perniagaan mereka, mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian berpihak ke Kerajaan Sriwijaya, dan sebagian berpihak ke Kerajaan Kediri.
Usai perang, kendali lautan dibagi dua;

  • Sebelah Barat mulai dari Cimanuk, juga Pelabuhan Sunda dikendalikan Sriwijaya.
  • Sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.

Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya  Sriwijaya terpaksa mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.

Pada periode inilah terjadi penyebaran bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa, karena  gelombang imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang menggunakan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Periode Kolonial Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512, mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa, yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis, yang pada akhirnya menurunkan darah campuran Portugis.

Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, VOC memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian, dan membangun roda perekonomian kota ini.

Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.

Olehkarenanya masih ada tersisa kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Dunia, juga seperti; Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.

Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin Betawi yang banyak unsur Arab dan Tiongkok.
Berbagai nama tempat di Jakarta menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa lain ke Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.

Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi.

Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang minoritas.

Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran, bahkan tergusur ke luar Jakarta.

Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi.
Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo .

Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai "Kalapa" (Sekarang Jakarta), merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara.

Percampuran budaya, sudah ada sejak masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa, dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli, dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap  budaya asing, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai warga asli Jakarta agak tersingkirkan oleh pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun Budaya Barat dan Timur Tengah.
 
Bahasa
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno), dengan menggunakan huruf  hanacaraka. Penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta, dan sekitarnya sejak Zaman Batu.

Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Hingga kini, masih banyak nama daerah, dan nama sungai yang masih tetap menggunakan bahasa Sunda, seperti; Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung, dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Dialek Betawi terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara).

Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan dan pinggir Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.

Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a".

Musik
Dalam bidang kesenian, orang Betawi memiliki Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor, dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari
Seni tari Betawi merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contoh: tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain.
Pada awalnya, seni tari Betawi dipengaruhi budaya Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.

Drama
Drama tradisional Betawi, antara lain: Lenong, dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat.
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo, atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.

Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa, sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.

Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing.

Kampung Kemanggisan dan sekitar Rawabelong, banyak yang berprofesi petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik, antara lain K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, dan pembatik juga banyak digelutinya.

Kampung Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.

Kampung Kemandoran dimana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai di wilayah ini, antara lain; Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong.
Kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet adalah orang-orang Betawi gusuran dari Senayan, karena dicanangkannya program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno, guna pembuatan Kompleks Olah Raga / Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang.

Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .

Ada beberapa hal yang positif dari orang Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebihan, dan cenderung tendensius.

Pernah saya unggah di jakartasehat.pedia.web.id

Sapto Satrio Mulyo

Sumber : dari berbagai sumber

Foto ; Istimewa

Apa itu Lebaran Betawi ?

 

Lebaran Betawi merupakan acara tahunan sebagai ajang silaturahmi antara warga Jakarta setelah Lebaran Idul Fitri, dimana 5 wilayah administrasi di Jakarta memamerkan kekhasan setiap daerahnya, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakan. Tradisi Acara ini dimulai sejak tahun 2008, dan berlangsung hingga saat ini.

Acara Tahunan
Lebaran Betawi ke I tahun 2008 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat
Lebaran Betawi ke II tahun 2009 di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan
Lebaran Betawi ke III tahun 2010 di Sentra Primer Puri Indah Jakarta Barat
Lebaran Betawi ke IV tahun 2011 di lapangan BPLIP Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur
Lebaran Betawi ke V tahun 2012 di Jalan Perintis Kemerdekaan RT 005/004 Kelapa Gading Jakarta Utara
Lebaran Betawi ke VI tahun 2013 di lapangan Monas, Jakarta Pusat


Sumber : Dari berbagai sumber
Foto  :  Istimewa

Elu Bener-bener Gakbener Yak


Jakarta (WartaBetawi) - Pilem berbicare, ape elu punye ati, ape kagak, ape cumang pencitraan aje kerja ente.

Udeh semustinye mereka dibuatin rumah singgah, kalo engkong-engkong ane masih ade nih, pasti udeh ditolongin di kontrakannye, nyang bererot.

Nanti ente alasannye, belom ade nyang kasih tau dah, dasar kucing.....

Orang betawi kagak kayak elu, orang Betawi pade punye ati. Biar ngomongnye nyablak tapi jujur atinye. Kagak kayak ente, kalo ngebacot kayaknye santun banget yak, tapi atinye busuk, dasar kucing.....

Jangan Percaya si mAnies dari Yaman

Sumber video : Kompas TV

Reoni Alumni SMPN 57 Jakarta Angkatan-82 pake gaye Betawi

Gawil, ketua panitia Reoni smpn 57 jaksel
Jakarta, (WartaBetawi) - Nah eni nih emang top banget dah, ada Reonian nyang punye konsep pake Budaye Betawi

Ibukote kite, Jakarte, punye sejare nyang panjang. Dimane taon enih, 2018, Jakarte bakal genep berumur 491 tahun, tepatnye tanggal 22 Juni. 

Sebuah perjalanan nyang panjang banget ampe saat enih. Banyak peristiwe sosial, budaye, politik, nyang bersejare lainnye, kejadian di di kota nyang punye luas wilayah 661,52 km2 nih.

Kote Jakarte penduduknye ampe 10,37 juta jiwe (2017), kagak kalah hebat kalo dibandingin ame kote-kote lain di negeri sendiri, juge di luar negeri. 

Budaye lokalnye hasil dari  campuran beragam etnis, seperti tarian, busane, juge kulinernye, punye khas tersendiri. Mereka nyang bermukim di ibukota, apalagi di kampung-kampung asli Betawi, pasti dah kenal makanan kaye kerak telor, kue odading, kue rangi, dan lainnye, serte ondel-ondel, tari topeng, busane encim, lagu ‘kicir-kicir’, rumah tradisional ‘Rumah Bapang’, dengan senjatenye Golok. Paling kagak, ntulah beberape contoh menonjol nyang jadi bagean dari Budaye Betawi.

Apaan tuh "Bek 2 Skul"?
Sadar kagak sih, kalo asal sekolah menengah pertama kite-kite berade di jantung ibukota, nyang budaye lokalnye sohor banget, nyang dibilang "Budaye Betawi". Emang sih kalo lo liat secare demografi, make keliatan dah tuh kalo jumlah etnis Jawe (35,16%), jauh lebih banyak dari Betawi sendiri nyang cumang 27,65%, abis ntuh etnis Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minang (3,18%), Melayu (1,62%), dan Bugis, Aceh, Madura, dan lain-lain. Walau begitu, kagak berlebihan pabila kite dari Panitia Reoni Alumni SMPN 57 Jakarta Angkatan 1982, nyelenggarain acare "Bek 2 Skul" dengan mengangkat Budaye Betawi.

Tema dari acare enih berasal dari frasa Bahasa Inggris nyang dilafalin ke dalam Bahasa Indonesia, ato back to school jadi “Bek 2 Skul”. Arti harfieh dari frasa ntuh adalah "kembali ke sekolah", nyang ngandung makne ajakan kepade pare alumni untuk "balik" ke sekolah. Bukan dalam arti nyang sebenarnye, itu cumang ajakan bakal pare alumni untuk mengadakan kegiatan reuni di almamater tercinte. Kalo selame enih, pare alumni banyak nyang bikin kegiatan pertemuan di luar sekolah, kaya di rumah makan, rumah pribadi salah satu alumni, gedung pertemuan atau vila di Puncak, Bogor.

Gune nyesuain dengan konsep acare enih, kite-kite juge nyebut istilah acara enih dengan ngikutin logat Betawi, yakni REONI bukan Reuni. Makanye lengkap dah konsepnye, dan juge tajuk acara enih nyang ngusung Budaye Betawi.

Program Kegiatan
Acare reoni nyang dikomandanin ame Suhendra Sayuti Kartawijaya nyang akrab disapa Gawil, bakal diadain pade hari Minggu 11 Maret 2018, bertempat di halaman sekolah SMPN 57 Jakarta. Rangkaian acare diawalin ame jalan kaki santai barengan, ngambil rute napak tilas nyusurin jalan-jalan penuh kenangan, nyang hulu sering dilewatin  ame alumni pade mase sekolah. Abis entuh, balik ke sekolah bakal nikmatin suasane dekorasi gaye Betawi. Kagak lupe, bakal nikmatin juge menu penganan asli Betawi, sambil nonton tari tradisional Betawi, dendang lagu Betawi, dan pake busane encing ame encang Betawi. Gawil lulusan tahun1982, die kebetulan juge anak Betawi asli. Die juge udeh siap ame pakaian khas Betawi-nye.

Kegiatan reoni enih merupakan kolaborasi kerje bareng pare alumni nyang jadi panitie dan pihak sekolah. Selain nyediain tempat, pihak sekolah juge ngasih dukungan berupe persembahan Tari Topeng dari siswa-siswi aktif di SMPN 57 Jakarta. Kaya gini nih, wujud nyate dari kolaborasi nyang sinergis.

Selain ntuh, juge ade display foto jadul semase sekolah dan stand poto bernuansa Betawi... Pare alumni bise leluase berpoto bareng dengan peke busane Betawi. Berkaitan dengan poto enih, para alumni harus membayar untuk setiap potonye. Uang nyang kekumpul ntuh, bakal disumbangin untuk pembangunan mushole di sekolah kite.

Adapun reoni kali enih adalah dalam rangka mensyukuri usia kelulusan 36 tahun. Sebuah usie nyang kagak mude lagi. Udeh banyak alumni nyang lulus dari almamater sampe saat enih. Dan banyak pule dari mereka nyang nerusin ke jenjang pendidikan tinggi, beraneka profesi dan kegiatan pade saat enih. Bahkan, tentunye, mereka udeh punye keturunan dua generasi, alias punye anak ame cucu. Begitu juge kagak kebilang, mereka nyang udeh pulang ke haribaan.

Tujuan dari reoni enih, selain temu kangen, adalah juge bakal ngerawat silaturahmi, dan pade saling memanfaatin peluang positif nyang mungkin terjadi pada saat pertemuan, serta beramal memberikan donasi bakal pembangunan mushola almamater. Diarapin kegiatan enih bise menjaring sejumlah alumni nyang tersebar di seantaro pelosok negeri, bahkan di luar negeri. Dan boleh “dikate”, enih adalah pertemuan langka Alumni ‘Gocap Seven’ sebutan lain dari SMPN 57, yang mengangkat tema Budaye Betawi. (RP) | Foto : Koleksi Pribadi

Bu RW diajak adu Jotos ame Ormas Pemenangan Gubernur Anies

Jakarte, (WartaBetawi) - Ibu RW ngirim "surat terbuka" buat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kaitannye ame dampak penutupan jalan dan trotoar di Tanah Abang, Jakarta.

Dilansir WartaBetawi dari akun Twitter @Syarman59 nyang diunggah hari Minggu (28/1/2018), same ibu RW, myang juge nyebut kalo penutupan jalan dan trotoar di Tanah Abang ngelanggar UU, yang akibatnye ngerusak lingkungannye.

Ibu RW ntuh bilang, ade segerombolan Ormas  nyang mao buka "Pasar Malam Liar" di wilayahnye. Rombongan ormas entuh juge keliatannye bawe beberape pedagang.

Ibu RW langung aje nolak, dan ngelaporin ke kelurahan, kepolisian, ame PLN, lantaran orang-orang dari ormas ntuh diduge ngambil listrik tanpe izin dari tiang jalan.

Dalam dialognye, koordinator lapangan (Korlap) ormas ntuh nyebut-nyebut nama Anies Baswedan.

Ketika ditanya, ormas ntuh juge ngaku udeh ngantongin izin dari Anies Baswedan, juge sebage tim pemenangan Gubernur Anies.

Nah baca ndiri dah suratnye :
"Morning Pak Anies!
Pak, akhirnya dampak Pelanggaran UU atas penutupan Jalan di Tanah Abang untuk 400 PKL, berakibat ke lingkungan saya.
Saya yakin di tempat lain tinggal menunggu giliran dan jika itu terjadi di seluruh wilayah Jakarta, betapa keosnya.
Kemarin siang sebagai Ketua RW saya dihadapkan “head-to-head” dengan segerombolan orang yang mengaku dari Ormas **R yang mendadak datang ke taman/jalur hijau di wilayah saya, membawa sederetan pedagang dan akan membuka kegiatan Pasar Malam liar.
Saya ditelpon beberapa warga yang melihat beberapa orang membawa tangga dan dengan pede-nya mencoba nyantol listrik (baca: Nyolong Listrik) dari tiang listrik jalan.
Beberapa pedagang menunjukkan selebaran yang mereka terima yang isinya undangan untuk berjualan di taman/jalur hijau; Tertulis: DIBUKA KEMBALI PASAR MALAM, HARI SABTU (MALAM MINGGU), BUKA JAM 16.00 – 22.00.
Ya betul pak, kata “DIBUKA KEMBALI” memang artinya Pasar Malam liar itu pernah ada beberapa tahun lalu di jalur hijau itu tiap Sabtu malam dan dengan susah payah kami bubarkan lewat proses yang amat lama dan berbelit-belit karena sudah sangat mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan warga.
Saya bergegas berkoordinasi dengan Kelurahan, kepolisian, PLN dan dengan tegas menyatakan MENOLAK pasar malam di jalur hijau di wilayah saya.
Sebelum seluruh pihak terkait tiba di TKP saya sempat bertemu dengan Korlap kegiatan itu dengan topi ormasnya di Pos RW saya.
Menarik sekali pak Anies, karena dalam percakapan si Korlap berani menyebut nama bapak.
Saya: “Bapak dari mana?”
Korlap: “Saya korlap **R bu, saya penyelenggara Pasar malam di Taman depan SD, untuk pedagang kecil, bu”, katanya.
Saya: “Penyelenggara? Bikin kegiatan itu kan harus punya ijin pak, bukan main datang dan bawa pedagang lalu nyantol listrik sesukanya dari tiang listrik jalan. Kok saya tidak tahu ada kegiatan di wilayah saya??”
Korlap: “kami sudah dapat ijin dari Pak Anies, dari **R pusat, dari Satpol PP Pusat, dari bla bla bla bla-bla bla”, kata si Korlap. (Saya dengarkan saja dia ngoceh ujung bibirnya putih-putih berbusah).
Saya: “Mana ijinnya pak, boleh saya lihat?”.
Korlap: “Nanti pasti ada ijinnya. Karna saya sudah bicara dengan 5 KORWIL **R yang ikut dalam Team pemenangan Gubernur Anies”
Saya: “Enggak ada hubungannya itu pak, Bapak harus dapat ijin dulu dari berbagai pihak. Warga saya keberatan ada kegiatan Pasar malam di Taman”
Korlap: “Warga yang mana bu?”
Saya: “Ya warga saya pak, mosok warga Roxi?”
Korlap: “Ya Nanti kita lihat saja bu, kita adu kuat-kuatan”
Saya: “Lho kenapa kok adu kuat-kuatan?. Memangnya tinju?. Kita pakai aturan yang berlaku saja pak”.
Singkat kata seluruh pihak dari berbagai instansi 3 Pilar kemarin akhirnya berkumpul di TKP; Kelurahan, Kecamatan, POLISI, Binmas, Babinsa, Danril, Satpol PP, Tokoh masyarakat dsb, berdialog dengan Korlap dan orang-orangnya serta para pedagang dan BATAL lah kegiatan pasar malam liar itu.
Good Job! Sebelumnya beberapa orang menelpon saya untuk mengijinkan pasar malam itu sekali saja, tapi saya tetap mengatakan TIDAK.
Pak Anies, Saya yakin ini ada hubungannya dengan kebijakan bapak menutup jalan di Tanah Abang yang melanggar berbagai undang-undang khususnya UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, sehingga menimbulkan keberanian pada kelompok-kelompok tertentu untuk copycat pelanggaran itu.
Mengatur wilayah sekecil RW pun tidak mudah, pak. Tanpa penegakkan hukum yang benar (tegas), setiap kelurahan di wilayah Jakarta yang merupakan perwakilan Pemerintah paling rendah, pasti akan pontang-panting mengatur wilayahnya.
Harusnya pak, hukum berlaku untuk semua orang; So, JUSTICE FOR ALL.
Salam
#BuRWPeduli."





Foto : Istimewa

Sejarahnye Becak di Batavia ampe DKI Jakarta

Jakarta, (WartaBetawi) - Cobe kite liat nih, becak ternyate bise dibuat cerite panjang, juge bise dibuat jadi analisa Sosiologis. Kagak percaye, lo baca aje deh sendiri, kalau lo orang nyang punye sensitifitas politik, lo bakal tau dimane masalahnye? ato kata orang keren sih, ada kagak yak "Hidden Agenda" nye?

Ade kagak yak? seperti konsepnye komunis "Kampung kepung Kote?" Semoge aje gw sale....

Nah elu amatin deh sendiri, bacaan di bawah nih.... Terutamenye saat Gubernur Sutiyoso, gimana maksud bae instruksi lisanye aje, jadi bikin Gubernur keribeten sendiri, karena pade nyerbu ke Jakarte...

Tahun 1936, awal becak beroperasi di Stad Gemeente Batavia, dalam kurun waktu tahun, jumlah becak + 3.900 unit.

Tahun 1951, jumlah becak di Kota Praj’a Jakarta + 25.000 yang dikemudikan oleh 75.000 orang, menggunakan tiga shift (24 jam).

Tahun 1967, saat DPRD-GR Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya mengesahkan perda tentang pola dasar dan rencana induk Jakarta 1965-1985, antara lain tidak mengakui becak sebagai kendaraan angkutan umum.

Tahun 1970, Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin, mengeluarkan instruksi, melarang produksi dan memasukkan becak ke Jakarta, termasuk rayonisasi becak. Dimana saat itu, jumlah becak + 150.000 becak, yang dikemudikan 300.000 orang dalam dua shift. Sementara setahun kemudian, Pemda menetapkan bahwa sejumlah jalan protokol, dan jalan lintas ekonomi, tidak boleh dilewati oleh becak.

Tahun 1972, DPRD DKI Jaya mengesahkan Perda no. 4/1972, menetapkan becak, sama dengan opelet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Dimana becak berkurang drastis, dari 160.000 menjadi 38.000.

Tahun 1988, Gubernur DKI Jaya Wiyogo Atmodarminto dalam instruksi No 201/1988, memerintahkan para pejabat di 5 wilayah kota, untuk melakukan penyuluhan terhadap para pengusaha, dan pengemudi becak, dalam rangka penertiban hingga penghapusan seluruh becak dari Jakarta. Saat itu becak tercatat 22.856 becak.

1990: Pemda DKI memutuskan becak harus hilang dari Jakarta, waktu pembiaran selama 20 tahun untuk becak tetap ada di jalanan dianggap sudah cukup oleh Pemda DKI.

Awal tahun 1990 becak yang masih tersisa + 6.289 becak. Becak dilarang beroperasi di Ibu Kota sejak April 1990, ditetapkan melalui Perda No 11/1988.

24 Juni 1998: Gubernur DKI Sutiyoso memberikan instruksi, bahwa selama masa krisis ekonomi, angkutan umum yang disebut becak diperbolehkan beroperasi di Ibu Kota. Tetapi apabila situasi dan kondisi ekonomi sudah pulih kembali, maka larangan becak beroperasi di kawasan hukum Ibu Kota diberlakukan lagi. 

25 Juni 1998: Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kembali memberikan instruksi kepada Wali Kota se-DKI Jakarta, agar membina kehadiran becak selama resesi ekonomi, dengan cara memberi tempat operasi, supaya tidak mengganggu ketertiban umum. Dimana lokasi beroperasinya, hanya di jalan-jalan lingkungan yang tidak dijangkau oleh kendaraan bermotor, dan roda empat.

10 Maret 1999: + 800 pengemudi becak dengan naik 400 becak, datang ke Balaikota DKI Jakarta. Mereka menyampaikan tuntutan, agar becak diperbolehkan beroperasi di wilayah permukiman dan juga jalan nonprotokol Ibu Kota. Selain itu, mereka juga meminta Pasal 18 Peraturan Daerah (Perda) No 18/1998 tentang pelarangan becak di Jakarta dirubah.

15 April 1999: Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menolak untuk menrubah Peraturan Daerah (Perda) DKI No 11/1988 tentang pelarangan becak beroperasi di Ibu Kota. Sementara Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menawarkan alih profesi bagi para pengayuh becak tersebut, melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

9 November 1999: + 5.000 pengemudi becak, yang dipimpin Ketua Konsorsium Kemiskinan Kota, Wardah Hafidz berunjuk rasa ke Gedung DPRD DKI dan menuntut Perda No 11/1998 dicabut. Saat menerima perwakilan para pengemudi becak, Wakil Ketua DPRD DKI Tarmidi Suharjo menyatakan setuju untuk mencabut perda tersebut.

10 November 1999: Becak tetap dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, sebab Peraturan Daerah (Perda) No 11/1998 masih berlaku. Pasal 18 Perda No 11/1998 melarang orang atau badan membuat, menjual, dan mengoperasikan becak di wilayah Ibu Kota tegas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

31 Januari 2000: Ratusan pengemudi becak bersamai Konsorsium Kemiskinan Kota, sebuah LSM yang dipimpin Wardah Hafidz, berunjuk rasa ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Masih dengan tuntutan yang sama seperti sebelumnya, yakni pencabutan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Ibu Kota yang melarang becak beroperasi.

15 Februari 2000: Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dinyatakan bersih dari becak sejak diadakan operasi mulai Desember tahun 1999. Dari 6.649 becak yang tercatat beroperasi di Jakarta, sekarang tersisa 3.519 yang masih tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat. 

17 Februari 2000: Bersama 139 koordinator pangkalan becak yang mewakili sekitar 5.000 pengemudi becak di wilayah DKI Jakarta (penggugat) melalui kuasa hukum dari LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menggugat Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat). Sutiyoso dinilai melanggar Peraturan Daerah (Perda) No 11/1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah DKI Jakarta. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

28 Februari 2000: Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) Wardah Hafidz bersama staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan, beserta sebelas pengemudi becak, ditangkap dan dibawa ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya.

Penangkapan tersebut berujung pada Aksi Unjuk Rasa,  sejak pagi di Istana Merdeka, Jakarta. Polisi tidak menahan mereka, atau setelah dimintai keterangan oleh aparat Polda Metro Jaya, Wardah dan kawan-kawan diperbolehkan pulang.

31 Juli 2000: Ratusan pengemudi becak memekik kegirangan usai putusan sidang perkara gugatan pengemudi becak (penggugat) terhadap Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Ketua Majelis Hakim Manis Soejono dalam putusannya menyatakan, penggugat dapat melaksanakan pekerjaan sebagai penarik becak di jalan-jalan permukiman dan pasar.

1 Agustus 2000: Meskipun kalah melawan para pengemudi becak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gubernur DKI Sutiyoso terus merazia becak. Sutiyoso juga menolak memberikan ruang gerak atau tempat beroperasi bagi becak, sekalipun di kawasan terbatas.

6 November 2000: + 400 warga yang menuntut penghapusan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban, melakukan unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Warga yang terdiri dari para pemulung, pedagang kaki lima, pengemudi becak, dan anggota keluarganya, berunjuk rasa dibawa oleh LSM Urban Poor Consortium (UPC) pimpinan Wardah Hafidz.

19 Juli 2001: Ribuan pengemudi becak, pedagang kaki lima, pengamen, dan pengemis, Kamis (19/7) siang melakukan unjuk rasa di Balaikota DKI Jakarta menuntut pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.

13 Agustus 2001 : Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta mengadakan operasi "Penggarukan" becak secara serentak di 5 wilayah DKI Jakarta.

2012-2017 : Pemprov DKI Jakarta, mulai Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, hingga Djarot Saiful Hidayat tetap mengikuti aturan yang berlaku dengan melarang becak beroperasi di Jakarta.

2018 : Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin menghidupkan becak kembali ke Jakarta. Salah satu caranya dengan membuat rute khusus yang bisa dilalui moda transportasi tradisional tersebut. (EW) | Foto : Istimewa

Manies Bacot aje nyang elu Gedein

Kate babe gue, orang entuh nyang dipegang mulutnye, bukan ngebacot aje kaya elu. Ude berape lame nih jadian? Kagak inget elu sama janji elu yang segudang.

Bisanye cumang nyalahin orang lain, elu kaya orang arab Aje, nyang naro kesalahan di luar dirinye. 

Kalo elu emang pribumi aseli, mustinye elu salahin diri elu sendiri dulu buat intropeksi, kaya ajaran Leluhur gue nyang Betawi Aseli, sebelom elu nyalahin orang laen.

Elu kudunye jangan pernah kibulin orang laen, bilang kalo elu orang pribumi, orang pribumi ajaran Betawi Aseli kagak pernah ade dibenaknye nyang nyoba untuk kibulin orang laen. "Gue Emang Buaye" Tau kagak elu arti dan maknanye entuh Buaye?

Janji aje digedein, buktinye kagak ade. Lagi belom jadian, elu janjinye selangit, pas udeh jadi, elu pinter banget dah ngelesnye. Dasaar Kucing

Mane nih mane buktiin dong, jangan ngeles aje.

Gue Anjing (Setia, Loyal, Komitmen) elu Kucing (Nyolongan, Kagak Pernah Loyal, Kagak Punye Komitmen)